Kamis, 26 November 2009

TAKUT KEPADA SYIRIK

[p]Dalam pembahasan ini penulis akan menjelaskan tentang keharusan seseorang untuk takut terhadap kesyirikan, karena kadang kala manusia mengira bahwa dirinya telah merealisasikn Tauhid, padahal pada hakekatnya dia belum merealisasikan tauhid dengan sebenar-benarnya. Oleh sebab itu sebagian salaf berkata:”Tidaklah aku bersungguh-sungguh dalam sesuatu melebihi kesungguhanku dalam merealisasikan tauhid”. Hal itu karena jiwa ini senantiasa terkait dengan dunia dan menginginkan kesenangannya, baik berupa harta, kehormatan maupun kedudukan. Bahkan kadang kala seseorang melakukann amalan akherat untuk mencari dunia, ini adalah kekurangan dalam tauhid dan keikhlasannya. Dan sedikit orang yang menjadikan akherat sebagai tujuan di dalam setiap amalannya. Penulis (syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab at-Tamimi) dalam pemabahasan inni membawakan dua ayat al-Quran dan tiga hadits.

[b]Ayat yang pertama:[/b] firman Allah subhanahu wa ta'ala [r]

إِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآءُ {48}

[/r][p][i]“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakinya.”[/i](An-Nisa’:48 dan 116)

[b]Maksudnya:[/b] Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni kalau disekutukan dengan sesuatu selain-Nya, maka kesyirikan, Allah subhanahu wa ta'ala tidak akan mengampuninya, karena syirik adalah bentuk kejahatan terhadap Allah yang khusus yaitu tauhid. Adapun maksiat yang lain seperti zina, mencuri, maka kadang-kadang nafsu manusia mendapatkan kesenangan/keuntungan dari perbuatan itu, adapun syirik maka itu adalah bentuk kejahatan kepada haq Allah dan manusia tidak mendapatkan kesenangann darinya akan tetapi itu adalah bentuk kedzaliman. Allah berfirman:[r]

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ {13}

[/r][i]“Sesungguhnya syirik adalah kedzaliman yang paling besar.”[/i](Luqman:13)

Dan apakah yang dimaksud di sini syirik besar atau syirik kecil, atau kesyirikan secara mutlak?. Maka sebagian ulama mengatakan:”sesungguhnya itu adalah mutlak mencakup seluruh syirik, walaupun syirik kecil sekalipun seperti bersumpah dengan nama selain Allah, maka tidak diampuni.. Adapun dosa besar seperti zina, mencuri, minum minuman keras,maka itu di bawah Masyiatillah/kehendak-Nya, mungkin Allah mengampuninya dan mungkin mengadzabnya.Dan ibnu memiliki dua penapat yang berbeda dalam masalah ini. Namun apapun jawabannya, wajib bagi kita untuk menjauhi kesyirikan besar maupun kecil, ayat di atas adalah umum (mencakup keduanya). Dan maksudوَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ adalah dosa di bawah syirik, bukan selain syirik.

[b]Ayat yang kedua:[/b][r]

وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ اْلأَصْنَامَ {35}

[/r][p][i]“…dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-hala (al-Ashnaam)”[/i](Ibrahim:35)

Al-Ashnam adalah bentuk jamak dari shanam yaitu segala sesuatu yang dibentuk seperti bentuk manusia dan dijadikan sesembahan selain Allah. Adapun watsan adalah segala sesuatu yang disembah selain Allah dalam bentuj apapun, maka watsan lebih umum dari. Shanam.

Ibrahim [i]'alaihissalam[/i] takut terjatuh kedalam kesyirikan, padahal beliau adalah khalilullah/kekasih-Nya, maka bagaimana halnya dengan kita? Maka janganlah merasa aman dari syirik, dan kemunafikan, dan tidak ada yang merasa aman dari kemunafikan kecuali orang munafik. Adapun orang yang beriman maka mereka takut kemunafikan, oleh sebab itu Ibnu Abi Mulaikah berkata:[r]

أدركت ثلاثين من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم كلهم يخاف النفاق

[/r][p]“Aku menjumpai tiga puluh orang dari sahabat nabi shallallahu 'alaihi wasallam maka semuanya takut kepada kesyirikan.”(HR.Bujhari kitab al-Iman)

Demikian juga Umar bin Khattab [i]radhiyallahu ‘anhu[/i] pernah bertanya kepada sahabat Hudzaifah [i]radhiyallahu anhu[/i] apakah Nabi [i]shallallahu 'alaihi wasallam[/i] menyebutkan namanya dalam deretan nama-nama orang munafik. Maka lihatlah saudaraku bagaimana Umar [i]radhiyallahu ‘anhu[/i] bertanya demikian padahal Nabi [i]shallallahu 'alaihi wasallam[/i] telah bersaksi bahwa Umar termasuk salah satu penghuni surga.

[b]Dan dari hadits[/b]

[b] Hadits yang pertama[/b] adalah sabda Rasulullah [i]shallallahu 'alaihi wasallam:[/i][r]

((أخوف ما أخاف عليكم الشرك الأصغر)) فسئل عنه؟ فقال:((الرياء))

[/r][p]“Sesuatu yang paling aku takuti dari kalian (umatku) adalah syirik kecil.” Ketika ditanya tentang maksudnya, beliau menjawab:”Riya”.(HR.imam Ahmad dengan sanad hasan menurut Ibnu Hajar)

Riya adalah beribadah kepada Allah supaya dilihat manusia dan dipuji manusia karena ibadahnya, bukan beribadah untuk manusia karena apabila tujuannya hal itu (ibadah untuk manusia) maka itu adalah syirik besar. Dan penyebutan riya di sini adalah sebagai contoh saja. Adapun kalau sesorang beribadah dan tujuannya supaya manusia meniru dan mengikutinya maka itu bukan riya, bahkan itu adalah dakwah kepada jalan Allah, sebagaimana Nabi [i]shallallahu 'alaihi wasallam pernah berkata:[/i][r]

فعلت هذا لتأتموا بي وتعلمواصلاتي

[/r][p]“Aku melakukan demikaian, supaya kalian mengikutiku dan mengetahui shalatku”(HR.Bukhari dalam kitab al-Jum’ah, Muslim dalam kitab kitab al-Masajid)

Dan dalam hal pembatal ibadah riya terbagi menjadi dua:

[b]1.Pertama:Riya terjadi dari awal ibadah,[/b] artinya dia beribadah dengan tujuan riya, maka amalannya adalah batal dan tertolak, sebagaimana hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu secara marfu’ Allah bersabda:[r]

أنا أغنى الشركاء عن الشرك,من عمل عملا أشرك معي فيه غيري تركته وشركه

[/r][p]”Aku adalah sekutu yang paling tidak membutuhkan sekutunya, barang siapa beramal, dan menyekutukan Aku dengan selain-Ku di dalam amalan tersebut maka Aku tinggalkan dia dan sekutunya.” (HR. Muslim)

[b]2.Kedua:Riya itu datang di tengah-tengah ibadah.[/b]

Maksudnya bahwa pada awalnya ibadahnya untuk Allah akan tetapi ditengah-tengah ibadah datang kepadanya riya, maka yang seperti ini ada dua bentuk:

[i]a.Ia melawan dan menolak riya tersebut,[/i] maka yang seperti ini tidak membahayakannya. Contohnya: seseorang shalat, setelah satu rakaat datang orang-orang pada rakaat kedua, saat itulah muncul dalam hatinya sesuatau yang menjadikan dia memanjangkan ruku’ dan sujudnya atau pura-pura menangis dll, maka apabila dia melawan riya tersebut maka itu tidak membahayakannya.

[i]b. Riya tersebut selalu mengiringinya/menyertainya,[/i] maka seluruh amal yang tumbuh dari riya adalah batil dan tidak diterima, seperti kalau dia memanjangkan berdiri, ruku’, sujud, atau pura-pura menangis, maka seluruh amalannya terhapus. Akan tetapi apakah batalnya ibadah tersebut berlaku untuk seluruh ibadahnya? Ini tidak lepas dari dua kondisi:

[b]=Kondisi pertama:[/b] keabsahan akhir sebuah ibadah tergantung dengan awalanya, yang mana tidak sah awal ibadah seseorang apabila akhir ibadah itu tidak sah, maka yang ini batal seluruhnya. Contohnya shalat, maka tidak mungkin dikatakan shalat itu rusak di akhirnya tetapi tidak rusak di awalnya. Maka batalah seluruh shalatnya, ketika datang riya di tengah-tengah shalatnya dan dia tidak menolak/melawannya.

[b]= kondisi kedua:[/b] Awal ibadah terpisah dari akhirnya, yang mana bisa jadi awal ibadah itu sah tetapi akhir ibadah batal. Maka ibadah sebelum datangnya riya sah, dan yang setelah datangnya riya tidak sah. Contohnya seseorang memiliki uang Rp.1.000.000 kemudian dia mensedekahkannya Rp.500.000 dengan niat ikhlas dan sisanya dia sedekahkan karena riya maka sedekah yang pertama sah dan yang kedua tidak sah.

[b]Hadits yang kedua[/b] adalah hadits dari sahabat Ibnu Mas’ud [i]radhiyallahu anhu[/i]bahwa Nabi [i]shallallahu 'alaihi wasallam sabda:[/i][r]

من مات وهو يدعومندون الله ندا دخل النار

[/r][p]“Barang siapa mati dan dia berdo’a/meminta kepada selain Allah dengan menjadikannya sekutu bagi Allah, maka masuk neraka”(HR.Bukhari)

[b]Hadits yang ketiga [/b]adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari sahabat Jabir[i]radhiyallahu anhu[/i] bahwa Nabi [i]shallallahu 'alaihi wasallam[/i] bersabda: [r]

من لقي الله لايشرك به شيئا دخل الجنة و من لقيه لايشرك به دخل النار

[/r][p]“Barang siapa berjumpa dengan Allah (di akherat) dalam kondisi tidak berbuat syirik maka akan masuk surga, dan barang siapa berjumpa dengan-Nya dalam kondisi berbuat syirik maka masuk neraka”(HR.Muslim kitabul Iman)

[b](diringkas dari al-Qoul al-Mufid syarah Kitab Tauhid, syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin bab: al-Khouf min asy-Syirki, Abu Yusuf Sujono)[/b]

TAKUT TERJATUH KEDALAM KE SYIRIKAN

[p]Dalam pembahasan ini penulis akan menjelaskan tentang keharusan seseorang untuk takut terhadap kesyirikan, karena kadang kala manusia mengira bahwa dirinya telah merealisasikn Tauhid, padahal pada hakekatnya dia belum merealisasikan tauhid dengan sebenar-benarnya. Oleh sebab itu sebagian salaf berkata:”Tidaklah aku bersungguh-sungguh dalam sesuatu melebihi kesungguhanku dalam merealisasikan tauhid”. Hal itu karena jiwa ini senantiasa terkait dengan dunia dan menginginkan kesenangannya, baik berupa harta, kehormatan maupun kedudukan. Bahkan kadang kala seseorang melakukann amalan akherat untuk mencari dunia, ini adalah kekurangan dalam tauhid dan keikhlasannya. Dan sedikit orang yang menjadikan akherat sebagai tujuan di dalam setiap amalannya. Penulis (syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab at-Tamimi) dalam pemabahasan inni membawakan dua ayat al-Quran dan tiga hadits.

[b]Ayat yang pertama:[/b] firman Allah subhanahu wa ta'ala [r]

إِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآءُ {48}

[/r][p][i]“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakinya.”[/i](An-Nisa’:48 dan 116)

[b]Maksudnya:[/b] Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni kalau disekutukan dengan sesuatu selain-Nya, maka kesyirikan, Allah subhanahu wa ta'ala tidak akan mengampuninya, karena syirik adalah bentuk kejahatan terhadap Allah yang khusus yaitu tauhid. Adapun maksiat yang lain seperti zina, mencuri, maka kadang-kadang nafsu manusia mendapatkan kesenangan/keuntungan dari perbuatan itu, adapun syirik maka itu adalah bentuk kejahatan kepada haq Allah dan manusia tidak mendapatkan kesenangann darinya akan tetapi itu adalah bentuk kedzaliman. Allah berfirman:[r]

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ {13}

[/r][i]“Sesungguhnya syirik adalah kedzaliman yang paling besar.”[/i](Luqman:13)

Dan apakah yang dimaksud di sini syirik besar atau syirik kecil, atau kesyirikan secara mutlak?. Maka sebagian ulama mengatakan:”sesungguhnya itu adalah mutlak mencakup seluruh syirik, walaupun syirik kecil sekalipun seperti bersumpah dengan nama selain Allah, maka tidak diampuni.. Adapun dosa besar seperti zina, mencuri, minum minuman keras,maka itu di bawah Masyiatillah/kehendak-Nya, mungkin Allah mengampuninya dan mungkin mengadzabnya.Dan ibnu memiliki dua penapat yang berbeda dalam masalah ini. Namun apapun jawabannya, wajib bagi kita untuk menjauhi kesyirikan besar maupun kecil, ayat di atas adalah umum (mencakup keduanya). Dan maksudوَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ adalah dosa di bawah syirik, bukan selain syirik.

[b]Ayat yang kedua:[/b][r]

وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ اْلأَصْنَامَ {35}

[/r][p][i]“…dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-hala (al-Ashnaam)”[/i](Ibrahim:35)

Al-Ashnam adalah bentuk jamak dari shanam yaitu segala sesuatu yang dibentuk seperti bentuk manusia dan dijadikan sesembahan selain Allah. Adapun watsan adalah segala sesuatu yang disembah selain Allah dalam bentuj apapun, maka watsan lebih umum dari. Shanam.

Ibrahim [i]'alaihissalam[/i] takut terjatuh kedalam kesyirikan, padahal beliau adalah khalilullah/kekasih-Nya, maka bagaimana halnya dengan kita? Maka janganlah merasa aman dari syirik, dan kemunafikan, dan tidak ada yang merasa aman dari kemunafikan kecuali orang munafik. Adapun orang yang beriman maka mereka takut kemunafikan, oleh sebab itu Ibnu Abi Mulaikah berkata:[r]

أدركت ثلاثين من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم كلهم يخاف النفاق

[/r][p]“Aku menjumpai tiga puluh orang dari sahabat nabi shallallahu 'alaihi wasallam maka semuanya takut kepada kesyirikan.”(HR.Bujhari kitab al-Iman)

Demikian juga Umar bin Khattab [i]radhiyallahu ‘anhu[/i] pernah bertanya kepada sahabat Hudzaifah [i]radhiyallahu anhu[/i] apakah Nabi [i]shallallahu 'alaihi wasallam[/i] menyebutkan namanya dalam deretan nama-nama orang munafik. Maka lihatlah saudaraku bagaimana Umar [i]radhiyallahu ‘anhu[/i] bertanya demikian padahal Nabi [i]shallallahu 'alaihi wasallam[/i] telah bersaksi bahwa Umar termasuk salah satu penghuni surga.

[b]Dan dari hadits[/b]

[b] Hadits yang pertama[/b] adalah sabda Rasulullah [i]shallallahu 'alaihi wasallam:[/i][r]

((أخوف ما أخاف عليكم الشرك الأصغر)) فسئل عنه؟ فقال:((الرياء))

[/r][p]“Sesuatu yang paling aku takuti dari kalian (umatku) adalah syirik kecil.” Ketika ditanya tentang maksudnya, beliau menjawab:”Riya”.(HR.imam Ahmad dengan sanad hasan menurut Ibnu Hajar)

Riya adalah beribadah kepada Allah supaya dilihat manusia dan dipuji manusia karena ibadahnya, bukan beribadah untuk manusia karena apabila tujuannya hal itu (ibadah untuk manusia) maka itu adalah syirik besar. Dan penyebutan riya di sini adalah sebagai contoh saja. Adapun kalau sesorang beribadah dan tujuannya supaya manusia meniru dan mengikutinya maka itu bukan riya, bahkan itu adalah dakwah kepada jalan Allah, sebagaimana Nabi [i]shallallahu 'alaihi wasallam pernah berkata:[/i][r]

فعلت هذا لتأتموا بي وتعلمواصلاتي

[/r][p]“Aku melakukan demikaian, supaya kalian mengikutiku dan mengetahui shalatku”(HR.Bukhari dalam kitab al-Jum’ah, Muslim dalam kitab kitab al-Masajid)

Dan dalam hal pembatal ibadah riya terbagi menjadi dua:

[b]1.Pertama:Riya terjadi dari awal ibadah,[/b] artinya dia beribadah dengan tujuan riya, maka amalannya adalah batal dan tertolak, sebagaimana hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu secara marfu’ Allah bersabda:[r]

أنا أغنى الشركاء عن الشرك,من عمل عملا أشرك معي فيه غيري تركته وشركه

[/r][p]”Aku adalah sekutu yang paling tidak membutuhkan sekutunya, barang siapa beramal, dan menyekutukan Aku dengan selain-Ku di dalam amalan tersebut maka Aku tinggalkan dia dan sekutunya.” (HR. Muslim)

[b]2.Kedua:Riya itu datang di tengah-tengah ibadah.[/b]

Maksudnya bahwa pada awalnya ibadahnya untuk Allah akan tetapi ditengah-tengah ibadah datang kepadanya riya, maka yang seperti ini ada dua bentuk:

[i]a.Ia melawan dan menolak riya tersebut,[/i] maka yang seperti ini tidak membahayakannya. Contohnya: seseorang shalat, setelah satu rakaat datang orang-orang pada rakaat kedua, saat itulah muncul dalam hatinya sesuatau yang menjadikan dia memanjangkan ruku’ dan sujudnya atau pura-pura menangis dll, maka apabila dia melawan riya tersebut maka itu tidak membahayakannya.

[i]b. Riya tersebut selalu mengiringinya/menyertainya,[/i] maka seluruh amal yang tumbuh dari riya adalah batil dan tidak diterima, seperti kalau dia memanjangkan berdiri, ruku’, sujud, atau pura-pura menangis, maka seluruh amalannya terhapus. Akan tetapi apakah batalnya ibadah tersebut berlaku untuk seluruh ibadahnya? Ini tidak lepas dari dua kondisi:

[b]=Kondisi pertama:[/b] keabsahan akhir sebuah ibadah tergantung dengan awalanya, yang mana tidak sah awal ibadah seseorang apabila akhir ibadah itu tidak sah, maka yang ini batal seluruhnya. Contohnya shalat, maka tidak mungkin dikatakan shalat itu rusak di akhirnya tetapi tidak rusak di awalnya. Maka batalah seluruh shalatnya, ketika datang riya di tengah-tengah shalatnya dan dia tidak menolak/melawannya.

[b]= kondisi kedua:[/b] Awal ibadah terpisah dari akhirnya, yang mana bisa jadi awal ibadah itu sah tetapi akhir ibadah batal. Maka ibadah sebelum datangnya riya sah, dan yang setelah datangnya riya tidak sah. Contohnya seseorang memiliki uang Rp.1.000.000 kemudian dia mensedekahkannya Rp.500.000 dengan niat ikhlas dan sisanya dia sedekahkan karena riya maka sedekah yang pertama sah dan yang kedua tidak sah.

[b]Hadits yang kedua[/b] adalah hadits dari sahabat Ibnu Mas’ud [i]radhiyallahu anhu[/i]bahwa Nabi [i]shallallahu 'alaihi wasallam sabda:[/i][r]

من مات وهو يدعومندون الله ندا دخل النار

[/r][p]“Barang siapa mati dan dia berdo’a/meminta kepada selain Allah dengan menjadikannya sekutu bagi Allah, maka masuk neraka”(HR.Bukhari)

[b]Hadits yang ketiga [/b]adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari sahabat Jabir[i]radhiyallahu anhu[/i] bahwa Nabi [i]shallallahu 'alaihi wasallam[/i] bersabda: [r]

من لقي الله لايشرك به شيئا دخل الجنة و من لقيه لايشرك به دخل النار

[/r][p]“Barang siapa berjumpa dengan Allah (di akherat) dalam kondisi tidak berbuat syirik maka akan masuk surga, dan barang siapa berjumpa dengan-Nya dalam kondisi berbuat syirik maka masuk neraka”(HR.Muslim kitabul Iman)

[b](diringkas dari al-Qoul al-Mufid syarah Kitab Tauhid, syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin bab: al-Khouf min asy-Syirki, Abu Yusuf Sujono)[/b]

SEMUANYA FANA

Barang siapa yang mendalami makna dunia akan sampai pada kesimpulan bahwa dunia sebenarnya tak memiliki kenikmatan hakiki, walaupun kenikmatan ada, biasanya akan diikuti berbagai cobaan yang jauh melebihi kenikmatan itu.

Salah satu kenikmatan di dunia adalah wanita cantik. Mungkin saja ia tak mencintai suaminya. Jika suaminya mengetahui hal itu, ia akan meninggalkanya. Mungkin juga wanita cantik itu mengkhianati suaminya. Jika itu yang terjadi, kehancuran telah menanti. Jika ia berhasil melakukan apa saja kepadanya, perpisahan pasti akan mengiris-iris hatinya.

Kenikmatan yang lain adalah anak-anak laki-laki dan perempuan hingga mereka menikah. Jika anak perempuannya menikah, ia merasa khawatir suaminya akan berkhianat sehingga merebaklah aib sang anak dan keluarganya. Jika anak laki-lakinya sakit, hati terasa gundah. Jika ia keluar dari batas-batas moral, semakin menguatlah keresahan itu. Jika menjadi musuh ayahnya, yang ia inginkan adalah agar orang tuanya segera mati. Akan tetapi, jika perpisahan yang terjadi, hal itu akan menusuk-nusuk hati sang ayah.

Saat menginginkan sesuatu, orang fasik akan menghancurkan agamanya demi mencapai dunia. Perangainya menjadi berubah akibat kelakuannya yang yang berlumuran dosa dan noda. Salah satu bentuk kelezatan dunia yang lain adalah harta. Akan tetapi, sering kali harta-harta itu didapat dari jalan yang haram. Jika harta itu lepas dari tangannya, terganggulah jiwanya dan umurnya akan pergi dengan sia-sia.

Ini hanya beberapa misal (contoh). Oleh sebab itu, wajib bagi orang yang mendapat taufiq dari Allah subhanahu wa ta'ala untuk mencari hal-hal yang penting dan mendorong kepada jalan keselamatan agama, raga, dan kesehatan rohani. Hendaknya ia menjauhi hawa nafsu yang membakar-bakar yang bencananya berlipat-lipat dari kenikmatannya.

Barang siapa bersabar atas semua hal yang buruk dengan harapan memoeroleh faidah, akan menikmati kenikmatan yang berlipat-lipat, seperti para penuntut ilmu yang mau berpayah-payah. Ia akan mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat. Orang yang senang menganggur akan menyesal dengan penyesalan berlipat ketika menerima balasan akibat penganggurannya.

Berhati-hatilah, jangan sampai hawa nafsu menjebak anda dalam jerat-jerat mematikan. Jika hawa nafsu menginginkan sesuatu yang terlarang, cegahlah ia serta bandingkanlah kenikmatan di akhirat. Tentu saja, hanya orang-orang yang berhati beninglah yang akan banyak mengingat Allah.

(Sumber: Shaidul Khatir (edisi terjemah) Pustaka Maghfirah, disadur oleh Abu Yusuf Sujono)

Rabu, 25 November 2009

Berdusta atas Nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:’barang siapa berdusta atas namaku maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka’”

Takhrij Hadits

Hadits ini adalah hadits mutawatir dari sahabat Abu Hurairah, Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, Jabir, Ibnu Abbas dll radhiyallahu 'anhum, yang diriwayatkan oleh :

Imam al-Bukhari dalam Jami’ush Shahih dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu
Imam Muslim dalam Muqadimmah Shahih Muslim

Imam Tirmidzi dalam al-Jami’

Imam Abu Dawud dalam Sunan Abi Dawud

Imam Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah

Imam Ad-Darimi dalam Sunan ad-Darimi

Imam Nawawi (Syarh Shahih Muslim) berkata:”Ini adalah hadits yang agung yang berada pada puncak keshahihannya”.Dan dikatakan bahwa hadits tersebut adalah mutawatir, Abu Bakar al-Bazzar di dalam musnadnya mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam oleh sekitar 40 orang Sahabat radhiyallahu 'anhum. Imam Abu Bakar ash-Shoirofi (Syarh Risalah asy-Syafi’i) rahimahumallah menghikayatkan :”Hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari 60 Shabat secara marfu’”. Ibnu Mandah menyebutkan bahwa jumlah perawi hadits ini sampai 87 kemudian beliau berkata dan selain mereka. Sebagian huffadz menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan dari 72 Shahabat dan termasuk di dalamny adalah 10 Shahabat yang dijanjikan masuk surga.

Al-Hafidz Ibnu hajar dalam fathul bari berkata:”Ibnul Jauzi mengumpulkan jalur periwayatan hadits ini dalam muqadimmah kitab beliau al-Maudhu’at lebih dari 90 jalur, demikianla yang diyakini Ibnu Duhyah.

Pemahaman hadits yang benar ;

Makna sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:”maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka”, para ulama berkata:”maknanya hendaklah tinggal, atau hendaklah menjadikan tempat tinggalnya di neraka”. Al-Khathabi berkata:” asal katanya adalah mabaa’atu al-ibil artinya tempat tinggal onta. Kemudia dikatakan bahwa perkataan Nabi di atas adalah do’a dengan lafadz berita, yang artinya,’semoga Allah menempatkannya di neraka.men gambil

Dusta adalah mengabarkan tentang sesuatu yang berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya, baik sengaja ataupun lupa, inilah madzhab Ahli Sunnah. Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam syarh Shahih Muslim:”Ketahuilah bahwa hadits ini mengandung beberapa faidah dan kaidah:Pertama, menetapkan madzhab Ahli Sunnah, bahwa dusta mencakup pemberitaan dari orang yang sengaja atau lupa, dengan berita yang berbeda dengan kenyataan. Kedua, kerasnya larangan berdusta atas nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, akan tetapi seseorang tidak kafir karena hal ini, kecuali kalau dia menghalalkannya (berdusta atas nama Nabi). Dan inilah madzhab yang terkenal di kalangan ulama. Ketiga, Sesungguhnya tidak ada beda antara berdusta atas nama beliau dalam masalah hukum, atau dalam masalah yang tidak ada hukum di dalamnya, seperti Targhib dan Tarhib, nasehat dan lain-lain, maka semuanya haram dan termasuk dosa besar.

Pemahaman yang keliru tentang Hadits ini

Al-Mu’alimi berkata dalam kitab al-Anwar al-Kasyifah:”Terdapat sekelompok orang dari golongan orang bodoh dan sesat, yan berpegang kuat dengan kata” علي/ atas kami” maka dia berkata:”Kami berdusta untuk beliau bukan atas beliau”.

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam fathul bari berkata:”Telah tertipu sekelompok orang dari kalangan orang-orang bodoh, maka mereka membuat hadits-hadits palsu dalam Targhib dan Tarhib dan mereka berkata:”Kami tidak berdusta atas nama beliau, akan tetapi kami melakukan hal itu (membuat hadits palsu) untuk menguatkan syariat beliau”. Dan mereka tidak tahu bahwa kedustaan mereka atas nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah kedustaan atas nama Allah, karena sesungguhnya hal itu adalah, menetapkan hukum syariat baik itu berupa mewajibkan atau mensunahkan, demikian juga mengharamkan dan memakruhkan.

Imam Nawawi rahimahullah berkata:”Tidak ada beda di dalam pengharaman berdusta atas nama beliau dalam masalah hukum, atau dalam masalah yang tidak ada hukum di dalamnya, seperti Targhib dan Tarhib, nasehat dan lain-lain, maka semuanya haram dan termasuk dosa besar dan sesuatu yang paling buruk berdasarkan ijma’ kaum muslimin yang mereka diperhitungkan ijma’ mereka, berbeda dengan karamiyah (sebuah golongan yang menyimpang) yang mereka mengira bahwa bleh membuat hadits palsu dalam masalah targhib dan tarhib. Hal ini diikuti oleh orang-orang bodoh yang menisbatkan diri kepada zuhud, atau menisbatkan kepada kepbodohan sepertinya. Dan syubhat mereka adalah kalimat tambahan dalam hadits di riwayat yang lain:”Barang siapa berdusta atas namaku untuk menyesatkan manusia maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka”. Maka mereka mengira bahwa yang mereka lakukan adalah kebohongan untuk beliau, bukan atas nama beliau. Inilah yang di jadikan dalil oleh mereka, puncak kebodohan dan kelalaian, dan ini adalah bukti yang jelas yang menunjukkan akan jauhnya mereka dari pengetahuan terhadap kaidah syariat. Maka mereka telah menggabungkan dalam diri mereka kesalahan-kesalahan dalam akal mereka yang lemah dan otak mereka yang rusak.

Maka mereka menyelisihi firman Allah Ta’ala:

وَلاَتَقْفُ مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً {36}

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tantangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungan jawabnya”.(Al-Israa’:36)

Dan menyelisihi ketegasan hadits yang mutawatir di atas dan hadits-hadits masyhur tentang larangan membuat persaksian palsu atau dusta. Mereka juga menyelisihi kesepakatan/ijma’ ulama dan dalil-dalil pasti tentang haramnya berdusta atas nama seseorang, lalu bagaimana kalau berdusta atas nama orang yang perkataannya adalah syariat, dan ucapannya adalah wahyu?. Maka apabila di lihat maka perkataan mereka adalah bentu kedustaan atas nama Allah.

Dan yang paling mengherankan adalah perkataan mereka:”ini adalah kedustaan untuk (membela beliau). Maka ini adalah bentuk kebodohan mereka terhadap bahasa Arab dan ungkapan syariat, maka semuanya (yang mereka lakukan) adalah kedustaan atas nama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

Adapun hadits yang dijadikan dalil dan dipegang oleh mereka, maka dijawab oleh ulama bahwa tambahan “untuk menyesatkan manusia dalam riwayat lain adalah tambahan yang batil, dan hal itu disepakati oleh seluruh hafidz. Dan tidak diketahui satupun jalur yang shahih dari tambahan dalam hadits tersebut. Wallahu A’lam

(Diterjemahkan secara ringkas dari kitab: Tashihul Akhtho wal Mafahim, Raaid bin Shabri.Hal.65-70.Abu Yusuf Sujono)

MENYERU KEPADA DAKWAH TAUHID

Setelah seorang muslim mempelajari dan merealisaikan tauhid, takut dan menjauhi syirik maka hendaklah dia menyebarkan dan mendakwahkan tauhid ini kepaa orang lain karena tidak sempurna keimanan kecuali dengan berdakwah kepada tauhid. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

وَالْعَصْرِ {1} إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ {2} إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ {3}

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al-Ashr: 1-3)

Maka di samping seseorang harus bertauhid dia juga harus berdakwah kepada tauhid tersebut, kalau tidak maka keimanannya kurang sempurna. Dan tidak diragukan bahwa orang yang menempuh jalan tauhid, dia tidak menempuh jalan tersebut melainkan dia memandang bahwa tauhid adalah jalan yang paling utama. Dan jika ia benar dalam keyakinannya maka pasti dia akan mendakwahkan dan menyebarkan keyakinanya. Dakwah kepada Laa illaha illallahu adalah termasuk kesempurnaan tauhid, tidak sempurna tauhid kecuali dengannya. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُوا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاوَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَآأَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ {108}

Katakanlah:"Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (QS.Yusuf :108)

“Jalanku” yang dimaksud adalah apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berupa syari’at. Aku meyeru kepada jalan Allah, hal ini karena da’I ada dua, yang

pertama da’i yang menyeru kepada jalan Allah yaitu da’i yang ikhlas yang berniat menunjuki manusia ke jalan Allah

kedua da’i yang menyeru kepada selain Allah yang kadang-kadang dia menyeru kepada dirinya sendiri dengan cara berdakwah kepada kebenaran/al-haq tetapi tujuannya supaya dihormati dan dimuliakan, oleh sebab itu engkau akan melihat dia marah kalau manusia tidak melakukan apa yang dia perintahkan. Kadang pula dia menyeru/berdakwah kepada pemimpinnya sebagaimana yang terjadi di sebagian besar negara di mana di dalamnya terdapat ulama-ulama sesat yang selalu membenarkan perilaku pemerintah waluapun salah dan menyelisihi syariat.

Barang siapa yang berdakwah kemudian manusia tidak mau menerima dakwahnya dan bahkan menjauhinya, maka janganlah berputus asa, dan meninggalkan dakwah, karena seandainya Allah memberikan hidayah kepada seseorang dengan perantara dakwahnya maka itu lebih baik baginya daripada ia mendapatkan unta merah (barang paling berharga) (HR.Bukhari dan Muslim). Maka apabila dia berdakwah dan tidak mengikutinya maka dia marah karena kebenaran tidak diikuti bukan karena dirinya tidak diikuti. Dan apabila ada satu orang yang menerima dakwahnya maka itu sudah mencukupi, apabila tidak ada yang menerimanya maka dia telah terbebas dari kewjibannya (dakwah).

Kemudian cukuplah dengan adanya dakwah kepada kebenaranan dan memperingatkan dari kebatilan terdapat kejelasan bagi manusia bahwa hal ini adalah benar dan yang ini adalah salah. Karena ketika manusia semuanya tidak menjelaskan kebenaran dan menyetujui kebatilan, maka dengan berlalunya zaman kebenaran akan berbalik menjadi kebatilan dan kebatilan menjadi kebenaran.

Dan hedaknya dakwah dilakukan di atas bashirah/Ilmu dan yang dimaksud adalah bukan hanya ilmu agama/syar’i saja akan tetapi mencakup ilmu tentang kondisi orang yang didakawahi dan lmu tentang metode berdakwah. Maka bekal ilmu syari’i saja tidak cukup dalam berdakwah, tetapi dibutuhkan sikap hikmah dalam berdakwah yaitu sikap di mana kita menggunakan metode dakwah sesuai dengan kondisi orang yang kita dakwahi. Maka orang-orang yang tidak memiliki ilmu tidak layak untuk berdakawah, karena dakwahnya orang yang tidak berilmu/jahil lebih banyak merusak daripada memberikan perbaikan. Dan jalan dakwah inilah (dakwah di atas ilmu) jalannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan orang-orang yang mengikuti beliau.

عن ابن عباس - رضي الله عنهما - أن رسول الله لما بعث معاذاً إلى اليمن قال :« إنك تأتي قوماً من أهل الكتاب ، فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله - وفي راوية : إلى أن يوحدوا الله - فإن هم أطاعوك لذلك، فأعلمهم أن الله افترض عليهم خمس صلوات في كل يوم وليلة ، فإن أطاعوك لذلك فأعلمهم أن الله افترض عليهم صدقة تؤخذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم. فإن هم أطاعوك لذلك، فإياك وكرائم أموالهم ، واتق دعوة المظلوم ، فإنه ليس بينها وبين الله حجاب ».

“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika mengutus Muadz radhiyallahu 'anhu ke Yaman, beliau bersabda:’Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum ahli kitab, maka jadikanlah awal dakwahmu adalah syahadat Laa ilaha illallahu –di dalam riwayat lain: Supaya mereka mentauhidkan dan mengesakan Allah-, apabila mereka mentaatimu, maka beritahu mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam, apabila mereka mentaatimu, maka beri tahu mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shadaqah/zakat yang diambil dari orang kaya di antara mereka, dan di bagikan kepada orang miskin mereka. Apabila mereka mentaatimu, maka hati-hatilah terhadap harta terbaik mereka (untuk zakat), dan takutlah kepada do’anya orang yang teraniaya, sesungguhnya antara do’a mereka dengan Allah tidak ada penghalang.’”

Yaitu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman sebagai seorang pengajar, hakim dan da’i pada bulan rabi’ul awal tahun 10 H, bersama Abu Musa al-As’ari maka beliau menasehatkan kepada mereka untuk memberikan kemudahan dan tidak menyusahkan.

Dalam hadits di atas ada beberapa pelajaran yang bisa diambil di antarannya:

1.Kedudukan tauhid sebagai awal kewajiban atas seorang hamba, ini diambil dari sabda beliau” maka jadikanlah awal dakwahmu adalah syahadat Laa ilaha illallahu –di dalam riwayat lain: Supaya mereka mentauhidkan dan mengesakan Allah.

2.Memulai dakwah dengan tauhid sebelum yang lainnya.

3.Makna “untuk mengesakan Allah adalah makna syahadat/persaksian Laa ilaha illallahu” ini diambil dari ungkapan Shahabat dalam satu riwayat dengan ungkapan” Syahadat/persaksian Laa ilaha illallah” dan dalam riwayat yang lain dengan ungkapan” Supaya mereka mentauhidkan dan mengesakan Allah.”

4.Peringatan tentang pentingnya belajar dan mengajar dengan cara beretahap.

5.Memulai segala sesuatu dari yang paling penting kemudian kepada sesuatu yang penting (memakai skala prioritas).

6.Tuntunan penyaluran zakat, diambil dari sabda beliau” diambil dari orang kaya di antara mereka, dan di bagikan kepada orang miskin mereka”

7. Dianjurkannya seorang alim untuk membongkar syubhat atau kerancuan dari hati para penuntut ilmu. Yang dimaksud syubhat adalah syubhat ilmu, maksudnya ada kebodohan pada diri seseorang, ini diambil dari sabda beliau” maka beritahu mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam, apabila mereka mentaatimu, maka beri tahu mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shadaqah/zakat yang diambil dari orang kaya di antara mereka, dan di bagikan kepada orang miskin mereka”. Maka beliau menjelaskan bahwa zakat itu diambil dari orang kaya mereka dan disalurkan dan dibagikan kepada orang miskin mereka.

8.Larangan untuk memungut zakat dari harta terbaik mereka, sebagaimana sabda beliau” dan terhadap harta terbaik mereka (untuk zakat)” karena kata “berhati-hatilah”memberikan makna peringatan dan peringatan menunjukkan larangan.

9.Perintah untuk takut terhadap do’anya orang-orang yang teraniaya/terdzalimi, sebagaimana sabda beliau ”takutlah kepada do’anya orang yang teraniaya”.

10.Penjelasan bahwa do’a mereka tidak terhalangi, sebagaimana sabda beliau “sesungguhnya antara do’a mereka dengan Allah tidak ada penghalang”. Maka dihubungkannya at-Targhib(motivasi) dan at-Tarhib(ancaman) dengan hukum adalah sesuatu yang bisa mendorong dan memotivasi kita apabila berupa at-Targhib, dan akan menjauhkan kita dan membuat kita takut apabila berupa at-Tarhib sebagaimana sabda beliau “takutlah kepada do’anya orang yang teraniaya”,maka kadang-kadang seseorang tidak takut, akan tetapi apabila dikatakan kepadanya” sesungguhnya antara do’a mereka dengan Allah tidak ada penghalang” maka dia takut dan akan meninggalkan larangan itu.

[b](Disarikan dari al-Qoul al-Mufid (edisi Arab) bab.Dakwah Kepada Tauhid,cet.Daar Ibnul Jauzi.oleh Abu Yusuf Sujono )[/b]

Selasa, 24 November 2009

JANGAN BANGGA MELAKUKAN DOSA

Cobaan terberat bagi seseorang adalah jika ia tidak merasa dirinya sedang mendapatkan cobaan, terlebih lagi jika ia sangat bergembira dengan cobaan itu. Misalnya perasaan bangga dengan harta yang haram dan terus-menerus melakukan dosa sementara ia tahui bahwaa itu adalah dosa. Mereka yang seperti itu tak akan terselamatkan oleh ketaatannya. Saya telah merenungkan keadaan sebagian ulama dan orang-orang mutazahhidin (orang yang pura-pura zuhud),mereka tidak merasa sedang mendapat cobaan. Kebanyakan mereka adalah orang yang sedang mengincar sebuah kursi kedudukan

Sebagian mereka tidak menerima dan bahkan marah jika kesalahan yang dilakukannya ditegur oleh orang lain. Sebagian tukang ceramah telah menyampaikan nasehat setengah hati sambil berpura-pura. Para mutazahid telah munafik dan selalu melakukan perbuatan riya. Cobaan pertama yang mereka terima adalah berpalingnya mereka dari kebenaran akibat kesibukannya dengan sesama makhluk. Adapun cobaan yang paling ringan bagi mereka adalah hilangnya kenikmatan dalam bermunajat dan kelezatan beribadah, kecuali orang mukmin dan mukminah yang benar-benar beriman, mereka tidak merasakan hal-hal tersebut. Allah menjaga mereka. Keadaan batin mereka seperti lahirnya, bahkan lebih jernih lagi. Apa yang tersembunyi dari mereka tidak berbeda dengan penampilan mereka. Semangat mereka pun tinggi laksana bintang, bahkan jauh lebih tinggi.

Jika dikenal, mereka menutup diri mereka, jika tampak kemuliaan mereka, malah diingkarinya. Ketika manusia manusia hanyut dalam kelalaiannya, mereka justru larut dalam kesadaran dan perenungannya. Mereka dicintai oleh setiap jengkal bumi ini, sedangkan Malaikat-malaikat langit membanggakannya. Kita memohon taufiq Allah subhanahu wa ta'ala bagi pengikut mereka, sambil kita memohon kepada Allah agar kita bisa mengikuti jejak mereka.

[b](Sumber: Shaidul Khaatir (Edisi terjemah) Pustaka Maghfirah hal.29, disadur oleh Abu Yusuf Sujono)[/b]